Kamis, 29 September 2016

Tax Amnesti dalam pandangan ISLAM



Pengertian Singkat Tax Amnesty

Secara sederhana Tax Amnesty diartikan sebagai pengampunan pajak, hal ini dilakukan agar mereka yang menyimpan hartanya di luar negeri mau menarik dan menyimpan harta mereka di Indonesia.
Orang Indonesia yang menyimpan hartanya di luar negeri tentu memiliki berbagai alasan dan keuntungan kenapa mereka menyimpan hartanya di luar negeri. Sepeti di Singapura, negara tersebut memberlakukan Free Tax (Bebas Pajak).
Tentu itu menjadi salah satu keuntungan bagi mereka yang menyimpan hartanya disana, selain lolos dari pajak di Indonesia.
Berapa lama dan jumlah harta orang kaya Indonesia yang disembunyikannya di luar negeri, tentunya itu adalah tanggungan pajak yang harus mereka bayar.
Untuk itu pemerintah merayu mereka agar melaporkan hartanya yang diluar negeri dan kembali membawanya ke Indonesia dengan memberlakukan Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
Dengan kata lain, Pajak terutang atas harta mereka diluar negeri yang harus mereka bayar sebelumnya diampuni oleh pemerintah Indonesia, Wajib pajak akan memulai dari awal, seperti itulah pengertian singkat Tax Amnesty (Pengampunan pajak).

Hukum Tax Amnesty dalam Islam

Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi] (Sumber)

Namun sebagian ulama berfatwa bahwasannhya  pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya adalah di perbolehkan, Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan retribusi yang sesuai atas orang-orang kaya. Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]

dan firman-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (٤١)

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [At Taubah: 41].

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (١٩٥)

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١)

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].

Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.

Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana, (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat. Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib.

Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”, tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil. Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :
Bait al-maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.

Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.

Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.

Semoga Bermanfaat

Pengetahuan Dasar Perpajakan


Pengertian Subjek Pajak
Subjek Pajak adalah pihak-pihak yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Dapat meliputi orang pribadi maupun badan (perusahaan).

Subjek Pajak Dalam Negeri

Istilah Subjek Pajak dalam negeri akan sering ditemukan dalam konteks PPh.  Subjek pajak dalam negeri meliputi orang pribadi (individu) maupun badan.  Pengertian ‘badan’ dalam UU KUP adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak, yang meliputi PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (BUT/permanent establishment).Orang pribadi (individu) yang disebut sebagai subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang: (1) bertempat tinggal di Indonesia, atau (2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau (3) yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.  Manakala orang pribadi meninggal dunia dan meninggalkan warisan, maka sebelum warisan itu terbagi, kedudukan subjek pajak si almarhum digantikan oleh warisan yang belum terbagi tersebut.  Itulah sebabnya, warisan yang belum terbagi juga dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri menggantikan yang berhak (menggantikan si almarhum).Sementara badan yang tergolong subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.  Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat kriteria berikut ini tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan dalam negeri:1.        Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan2.        Pembiayaannya bersumber dari APBN/D;3.        Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah (pusat maupun daerah); dan4.        Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak Luar Negeri

subjek pajak luar negeri juga akan lebih sering ditemukan dalam pembahasan PPh.  Dan sama seperti subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri juga terdiri dari orang pribadi (individu) dan badan. Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang:
1.        tidak bertempat tinggal di Indonesia; dan
2.        berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Sedangkan badan yang termasuk kelompok subjek pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak berkedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara: (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis melalui BUT (permanent establishment); atau (2) tidak melalui BUT (biasanya penghasilan yang bersifat pasive income seperti bunga, dividen, royalti maupun sewa).

Jika subjek pajak luar negeri memperoleh penghasilan dengan cara pertama, maka BUT dari subjek pajak luar negeri tersebut tergolong subjek pajak luar negeri.  Namun dalam perlakuan pajaknya, BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri dan memiliki kewajiban pajak yang sama dengan subjek pajak dalam negeri (kewajiban NPWP, SPT dan lain sebagainya).

Non Subjek pajak

Yang tidak termasuk golongan bukan Subjek Pajak adalah badan perwakilan negara asing, pejabat perwakilan diplomatik yang bukan warga negara Indonesia, Organisasi Internasional, dan pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

1.) Badan perwakilan negara asing

2.) Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
·         Bukan warga Negara Indonesia
·         Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
·         Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
3.) Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
·         Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
·         Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
4.) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
·         Bukan warga negara Indonesia Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Pengertian Objek Pajak 

ialah segala sesuatu yang karena undang-undang dapat dikenakan pajak. Kata "dapat" dikenakan pajak mengandung makna bahwa objek pajak boleh atau tidak boleh kena pajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek harus dipertimbangkan secara maksimal agar tidak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penentuan suatu objek untuk dikenakan pajak lebih dahulu dilakukan penelitian sehingga dapat menciptakan kemanfaatan bagi negara maupun daerah selaku pihak yang membutuhkan pajak.

Hal ini dipertegas Rochmat Soemitro (1986: 99) yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyaraat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun dalam peristiwa tertentu. Dalam bahasa Jerman disebut sebagai "tatbestand", contohnya sebagai berikut:

1. Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu misalnya, memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah dan atau barang tak bergerak lainnya, menempati rumah tertentu (kebanyakan secara statis/ tetap).


2. Perbuatan, misalnya melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah dan atau gedung, mengadakan pertunjukan atau keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri.


3. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena yang secara tak terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia.
Ternyata objek yang dapat dikenakan pajak terlalu banyak, tergantung dari pembuat undang-undang untuk menjaringnya, sepanjang objek itu tidak melanggar kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat. Dalam arti, masih terdapat beberapa pembatasan yang harus ditaati oleh pembuat undang-undang untuk menentukan suatu objek sebagai objek pajak.

Sekalipun ada pembatasan, berarti pembuat undang-undang tetap dibolehkan untuk menentukan objek yang dapat dikenakan pajak dan objek tidak dikenakan pajak. Hal semacam ini yang tergambar dalam tiap-tiap undang-undang Pajak yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang.

Non Objek pajak

Adalah penghasilan yang tidak dikenai pajak. Contohnya :
  1. Bantuan atau sumbangan dan harta hibahan.

    1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak; dan

    2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

  2. Warisan.

  3. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

  4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).

  5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

  6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
    1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

    2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

  7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

  8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan Menteri Keuangan.

  9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

  10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

    1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

    2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

  11. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

  12. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

  13. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Macam – Macam Jenis Penghasilan.

Dalam kehidupan manusia sehari-hari terdapat banyak hal yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup dengan baik.  Untuk mendapatkan apa yang diinginkan dibutuhkan sesuatu yang dianggap berharga secara umum untuk ditukarkan dengan barang-barang maupun jasa yang diperlukan.  Saat ini pada umumnya orang-orang memakai uang, emas, perak, surat berharga dan lain sebagainya untuk alat transaksi sehari-hari.  Benda-benda berharga tersebut bisa didapatkan dari berbagai macam atau jenis sumber, baik yang halal maupun yang haram.


1. Gaji dan Tunjangan Kerja

2. Wirausaha / Bisnis

3. Pemanfaatan Aset

4. Investasi Uang

5. Pemberian / Hadiah

6. Dana Pensiun

7. Uang Haram

8. Pemasukan Tak Terduga

SEMOGA BERMANFAAT